Perkawinan Beda Agama
Perkawinan
adalah salah satu titik balik yang penting dalam hidup manusia. Perkawinan
sebagai titik balik dalam hidup manusia membawa banyak konsekuensi dan
perubahan dalam perjalanan kehidupan seseorang, sebagian besar persentase hidup
seseorang akan mengalami perubahan oleh karena perkawinan. Setiap orang yang
menikah pastilah mengalami perubahan di berbagai bidang kehidupannya pada saat
sebelum dan sesudah menikah. Perubahan-perubahan yang terjadi ini disebabkan
oleh berbagai penyatuan yang mengikat dalam kehidupan perkawinan.
Perkawinan
menyatukan dan mengikat banyak aspek, mulai dari penyatuan kedua pribadi dalam
hal sosial, ekonomi, psikologis, rohani, fisik, dll. Selain itu, secara
kolektif, perkawinan tidak hanya menyatukan kedua pribadi tetapi juga
menyatukan keluarga besar kedua pribadi tersebut. Penyatuan fisik kedua
mempelai kemudian menghasilkan keturunan / anak. Di lain hal, penyatuan rohani
dan psikologis tidak lepas dari agama dan kepercayaan kedua mempelai, yang
kemudian apabila berjalan secara positif dapat membawa keharmonisan namun juga
bisa jadi negatif yaitu membawa konflik dalam kehidupan rumah tangga.
Telah dipaparkan di atas bahwa
penyatuan rohani dan psikologis tidak lepas dari agama dan kepercayaan kedua
mempelai. Tidak ada satu pun orang yang tidak memiliki dimensi spiritual dalam
dirinya. Oleh karena itu, aspek ini menjadi salah satu kebutuhan yang, disadari
maupun tidak, dimiliki oleh setiap orang dan harus dipenuhi untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Perkawinan yang memang sejak awal diharapkan akan
mendatangkan kebahagiaan batin bagi kedua mempelai akan menjadi hal yang sangat
mungkin ketika keduanya saling mengisi dan melengkapi secara rohani satu sama
lain. Namun, apabila hal tersebut tidak tercapai maka akan timbul kekosongan
dalam batin pasangan tersebut. Hal ini dapat kita lihat ketika pasangan berbeda
agama kemudian akhirnya memutuskan untuk menikah. Dalam masa awal pernikahan,
perbedaan agama mungkin dapat diatasi dengan cinta dan berbagai macam
toleransi. Namun, pada masa selanjutnya ketika masuk dalam masa realitas
kehidupan berumah tangga maka akan banyak timbul masalah yang perlu
diselesaikan, dimana tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cinta dan
toleransi semata. Ketika pasangan beda agama tersebut membutuhkan bimbingan
secara spiritual-kerohanian dari pasangannya maka pasangannya akan kesulitan
untuk memberikan bimbingan tersebut karena jelas ada perbedaan di antara
keduanya.
Perkawinan beda agama di negara
Indonesia sampai saat ini masih menjadi kontroversi yang belum ada habisnya.
Jika kita menilik dari UU tentang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat
(1), di situ dinyatakan bahwa
Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
Dari pasal 2
ayat (1) dapat disimpulkan bahwa UU perkawinan menyerahkan sahnya suatu
perkawinan dari sudut agama, jika suatu agama memperbolehkan perkawinan beda agama
maka perkawinan agama boleh dilakukan, tetapi jika suatu agama melarang
perkawinan beda agama maka perkawinan beda agama tidak boleh dilakukan. (Siti
Fina Rosiana Nur, 2012)
Jika kita mencermati
pada hukum agama, pada umumnya setiap agama melarang umatnya untuk
melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain karena antara perkawinan
dan agama terdapat hubungan yang amat kuat (Bagus Wismanto, Angelina, dan Rina:
2012). Hubungan antara perkawinan dan agama telah dipaparkan di atas bahwa,
perkawinan yang memang sejak awal diharapkan akan mendatangkan kebahagiaan
batin bagi kedua mempelai akan menjadi hal yang sangat mungkin ketika keduanya
saling mengisi dan melengkapi secara rohani satu sama lain. Belum lagi, jikalau kita melihat hubungan
antara perkawinan dan agama dari berbagai aspek seperti yuridis, religius,
moral, dll maka kita akan mendapati bahwa tidak mungkin untuk memisahkan
perkawinan dengan agama yang dianut.
Di
sisi lain, kontroversi juga terlihat dari apa yang dinyatakan oleh Abd. Rozak A. Sastra dan Tim bahwa,
“Setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus
dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan
masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran
terhadap konstitusi.” (Abd. Rozak A.
Sastra dan Tim: 2011). Pernyataan yang senada pun disampaikan oleh Long
Susan Belina “Pernikahan beda agama ditentang dengan beragam alasan, baik
secara teologis maupun sosial, praktek ini tidak dipandang sebagai model
pernikahan ideal tapi penyimpangan dan pemberontakan terhadap tradisi
keagamaan.” (Long Susan Belina: 2007). Pada sisi lain, pemerintah juga
mensyaratkan bahwa perkawinan sebaiknya sama agama dari kedua belah pihak.
(Bagus Wismanto, Angelina, dan Rina: 2012).
Dari
berbagai pendapat penelitian yang disampaikan, jelaslah bahwa perkawinan beda
agama bukanlah suatu pilihan hidup yang ideal bagi seseorang. Namun begitu,
ketika melihat realitas di masyarakat, perkawinan beda agama relatif banyak
terjadi. Data yang pernah didapatkan di Kabupaten Gunung Kidul – sebagai daerah
yang relatif berpenduduk plural dari segi agamanya – dapat dipaparkan bahwa di
Gereja Katolik Wonosari (Santo Petrus Kanisius), terdapat rata-rata 32% per
tahun pasangan berasal dari agama yang berbeda. Adapun di beberapa KUA terdapat
rata-rata 2,5% pasangan yang berasal dari agama yang berbeda. (Wahyuni, 2004)
Selain
itu, terhadap perkawinan beda agama, hasil sensus tahun 1990 dan 2000 di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau
wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi.
Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000
kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya
menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu
naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).
Pada
sensus tersebut didapatkan data bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan
beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus
1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%).
Artinya bahwa, semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan
kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang
minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga
semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama
yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut
menunjukkan ketiadaan pola perkawinan beda agama yang khas dalam kalangan
nonmuslim. (Abd. Rozak A. Sastra dan
Tim: 2011)
Dari
berbagai pemaparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa, perkawinan beda agama
bukanlah suatu keputusan yang ideal bagi hidup seseorang. Banyak tentangan dan
pro-kontra yang terjadi di dalamnya. Sekalipun begitu, kita melihat bahwa tetap
ada pasangan-pasangan yang akhirnya “memaksakan diri” untuk menikah dengan
pasangan yang beda agama.
Di lain sisi kita
menyadari bahwa selalu ada konsekuensi dari perbedaan agama dalam perkawinan.
Perbedaan ini membawa tidak sedikit masalah yang harus diselesaikan. Berbagai
macam masalah kemudian akan berimbas pula pada kehidupan keluarga tersebut,
dimana di dalam keluarga itu pun ada anak-anak hasil pernikahan. Anak-anak ini
dibesarkan dengan kondisi orang tua yang berbeda agama. Pendidikan dan
pengasuhan dari orang tua yang berbeda agama dengan segala dinamika masalahnya
kemudian mewarnai kehidupan anak-anak ini.
Ketika anak-anak ini
beranjak remaja, maka dalam diri anak-anak ini pun terjadi berbagai perubahan,
termasuk juga aspek psikologisnya. Salah satu aspek psikologis yang penting di
sini adalah berkaitan dengan kebahagiaan hidup remaja tersebut. Kebahagiaan
hidup seorang remaja yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
dengan orang tua yang berbeda agama menjadi suatu hal yang sangat penting.
Aspek ini penting karena dapat menjadi salah satu tolok ukur bagaimana pasangan
yang berbeda agama menyikapi berbagai masalah yang datang dalam rumah tangganya
dalam kaitannya mendidik dan membesarkan anak / remaja.
Oleh:
Mutiara Harlina
SUMBER:
Abd. Rozak A.
Sastra dan Tim.(2011). Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Beda Agama
(Perbandingan Beberapa Negara).Makalah dan abstraksi.Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Puslitbang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Bagus Wismanto,
Angelina, dan Rina.(2012).Dinamika Psikologis Pasangan Perkawinan
Beda
Agama.Jurnal Penelitian.Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang.Hlm 8
Long Susan Belina.(2007).Konflik Moral
pada Anak Pasangan Beda Agama “Studi Kasus
pada Anak Pasangan
Islam-Nasrani”.Skripsi.Program Studi
Psikologi UII Yogyakarta
Siti Fina
Rosiana Nur.(2012).Perkawinan Beda Agama menurut UU Perkawinan serta Akibat
Hukumnya terhadap Anak yang Dilahirkan
terkait Masalah Kewarisan.Skripsi.Fakultas
Hukum-Universitas Indonesia
Sri
Wahyuni.(2004).Kontroversi Perkawinan Beda Agama di Indonesia.Makalah dan
loading...