Blog yang berisi informasi tentang pendidikan khusus / pendidikan luar biasa (PLB), pendidikan umum, traveling, laporan, dan tips bermanfaat

Perkawinan Beda Agama

Artikel terkait : Perkawinan Beda Agama

Perkawinan adalah salah satu titik balik yang penting dalam hidup manusia. Perkawinan sebagai titik balik dalam hidup manusia membawa banyak konsekuensi dan perubahan dalam perjalanan kehidupan seseorang, sebagian besar persentase hidup seseorang akan mengalami perubahan oleh karena perkawinan. Setiap orang yang menikah pastilah mengalami perubahan di berbagai bidang kehidupannya pada saat sebelum dan sesudah menikah. Perubahan-perubahan yang terjadi ini disebabkan oleh berbagai penyatuan yang mengikat dalam kehidupan perkawinan.

Perkawinan menyatukan dan mengikat banyak aspek, mulai dari penyatuan kedua pribadi dalam hal sosial, ekonomi, psikologis, rohani, fisik, dll. Selain itu, secara kolektif, perkawinan tidak hanya menyatukan kedua pribadi tetapi juga menyatukan keluarga besar kedua pribadi tersebut. Penyatuan fisik kedua mempelai kemudian menghasilkan keturunan / anak. Di lain hal, penyatuan rohani dan psikologis tidak lepas dari agama dan kepercayaan kedua mempelai, yang kemudian apabila berjalan secara positif dapat membawa keharmonisan namun juga bisa jadi negatif yaitu membawa konflik dalam kehidupan rumah tangga.
            Telah dipaparkan di atas bahwa penyatuan rohani dan psikologis tidak lepas dari agama dan kepercayaan kedua mempelai. Tidak ada satu pun orang yang tidak memiliki dimensi spiritual dalam dirinya. Oleh karena itu, aspek ini menjadi salah satu kebutuhan yang, disadari maupun tidak, dimiliki oleh setiap orang dan harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Perkawinan yang memang sejak awal diharapkan akan mendatangkan kebahagiaan batin bagi kedua mempelai akan menjadi hal yang sangat mungkin ketika keduanya saling mengisi dan melengkapi secara rohani satu sama lain. Namun, apabila hal tersebut tidak tercapai maka akan timbul kekosongan dalam batin pasangan tersebut. Hal ini dapat kita lihat ketika pasangan berbeda agama kemudian akhirnya memutuskan untuk menikah. Dalam masa awal pernikahan, perbedaan agama mungkin dapat diatasi dengan cinta dan berbagai macam toleransi. Namun, pada masa selanjutnya ketika masuk dalam masa realitas kehidupan berumah tangga maka akan banyak timbul masalah yang perlu diselesaikan, dimana tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cinta dan toleransi semata. Ketika pasangan beda agama tersebut membutuhkan bimbingan secara spiritual-kerohanian dari pasangannya maka pasangannya akan kesulitan untuk memberikan bimbingan tersebut karena jelas ada perbedaan di antara keduanya.
            Perkawinan beda agama di negara Indonesia sampai saat ini masih menjadi kontroversi yang belum ada habisnya. Jika kita menilik dari UU tentang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), di situ dinyatakan bahwa
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Dari pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa UU perkawinan menyerahkan sahnya suatu perkawinan dari sudut agama, jika suatu agama memperbolehkan perkawinan beda agama maka perkawinan agama boleh dilakukan, tetapi jika suatu agama melarang perkawinan beda agama maka perkawinan beda agama tidak boleh dilakukan. (Siti Fina Rosiana Nur, 2012)
Jika kita mencermati pada hukum agama, pada umumnya setiap agama melarang umatnya untuk melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain karena antara perkawinan dan agama terdapat hubungan yang amat kuat (Bagus Wismanto, Angelina, dan Rina: 2012). Hubungan antara perkawinan dan agama telah dipaparkan di atas bahwa, perkawinan yang memang sejak awal diharapkan akan mendatangkan kebahagiaan batin bagi kedua mempelai akan menjadi hal yang sangat mungkin ketika keduanya saling mengisi dan melengkapi secara rohani satu sama lain.  Belum lagi, jikalau kita melihat hubungan antara perkawinan dan agama dari berbagai aspek seperti yuridis, religius, moral, dll maka kita akan mendapati bahwa tidak mungkin untuk memisahkan perkawinan dengan agama yang dianut.
Di sisi lain, kontroversi juga terlihat dari apa yang dinyatakan oleh Abd. Rozak A. Sastra dan Tim bahwa, “Setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.” (Abd. Rozak A. Sastra dan Tim: 2011). Pernyataan yang senada pun disampaikan oleh Long Susan Belina “Pernikahan beda agama ditentang dengan beragam alasan, baik secara teologis maupun sosial, praktek ini tidak dipandang sebagai model pernikahan ideal tapi penyimpangan dan pemberontakan terhadap tradisi keagamaan.” (Long Susan Belina: 2007). Pada sisi lain, pemerintah juga mensyaratkan bahwa perkawinan sebaiknya sama agama dari kedua belah pihak. (Bagus Wismanto, Angelina, dan Rina: 2012).
Dari berbagai pendapat penelitian yang disampaikan, jelaslah bahwa perkawinan beda agama bukanlah suatu pilihan hidup yang ideal bagi seseorang. Namun begitu, ketika melihat realitas di masyarakat, perkawinan beda agama relatif banyak terjadi. Data yang pernah didapatkan di Kabupaten Gunung Kidul – sebagai daerah yang relatif berpenduduk plural dari segi agamanya – dapat dipaparkan bahwa di Gereja Katolik Wonosari (Santo Petrus Kanisius), terdapat rata-rata 32% per tahun pasangan berasal dari agama yang berbeda. Adapun di beberapa KUA terdapat rata-rata 2,5% pasangan yang berasal dari agama yang berbeda. (Wahyuni, 2004)
Selain itu, terhadap perkawinan beda agama, hasil sensus tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).
Pada sensus tersebut didapatkan data bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%). Artinya bahwa, semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut menunjukkan ketiadaan pola perkawinan beda agama yang khas dalam kalangan nonmuslim. (Abd. Rozak A. Sastra dan Tim: 2011)
            Dari berbagai pemaparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa, perkawinan beda agama bukanlah suatu keputusan yang ideal bagi hidup seseorang. Banyak tentangan dan pro-kontra yang terjadi di dalamnya. Sekalipun begitu, kita melihat bahwa tetap ada pasangan-pasangan yang akhirnya “memaksakan diri” untuk menikah dengan pasangan yang beda agama.
Di lain sisi kita menyadari bahwa selalu ada konsekuensi dari perbedaan agama dalam perkawinan. Perbedaan ini membawa tidak sedikit masalah yang harus diselesaikan. Berbagai macam masalah kemudian akan berimbas pula pada kehidupan keluarga tersebut, dimana di dalam keluarga itu pun ada anak-anak hasil pernikahan. Anak-anak ini dibesarkan dengan kondisi orang tua yang berbeda agama. Pendidikan dan pengasuhan dari orang tua yang berbeda agama dengan segala dinamika masalahnya kemudian mewarnai kehidupan anak-anak ini.
Ketika anak-anak ini beranjak remaja, maka dalam diri anak-anak ini pun terjadi berbagai perubahan, termasuk juga aspek psikologisnya. Salah satu aspek psikologis yang penting di sini adalah berkaitan dengan kebahagiaan hidup remaja tersebut. Kebahagiaan hidup seorang remaja yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan orang tua yang berbeda agama menjadi suatu hal yang sangat penting. Aspek ini penting karena dapat menjadi salah satu tolok ukur bagaimana pasangan yang berbeda agama menyikapi berbagai masalah yang datang dalam rumah tangganya dalam kaitannya mendidik dan membesarkan anak / remaja.


Oleh: Mutiara Harlina

SUMBER:
Abd. Rozak A. Sastra dan Tim.(2011). Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Beda Agama
(Perbandingan Beberapa Negara).Makalah dan abstraksi.Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Puslitbang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Bagus Wismanto, Angelina, dan Rina.(2012).Dinamika Psikologis Pasangan Perkawinan
Beda Agama.Jurnal Penelitian.Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.Hlm 8
Long Susan Belina.(2007).Konflik Moral pada Anak Pasangan Beda Agama “Studi Kasus
pada Anak Pasangan Islam-Nasrani”.Skripsi.Program Studi Psikologi UII Yogyakarta
Siti Fina Rosiana Nur.(2012).Perkawinan Beda Agama menurut UU Perkawinan serta Akibat
Hukumnya terhadap Anak yang Dilahirkan terkait Masalah Kewarisan.Skripsi.Fakultas Hukum-Universitas Indonesia
Sri Wahyuni.(2004).Kontroversi Perkawinan Beda Agama di Indonesia.Makalah dan
abstraksi.Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

loading...

Artikel Bukuacuanku Lainnya :

Copyright © 2016 Bukuacuanku